BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai seseorang yang terlibat dengan
penggunaan dua bahasa, dan juga terlibat dengan dua budaya, seorang
dwibahasawan tentulah tidak terlepas dari akibat-akibat penggunaan dua bahasa
itu. Salah
satu akibat dari kedwibahasaan adalah adanya tumpang tindih antara kedua sistem
bahasa yang dipakainya atau digunakannya unsur-unsur dari bahasa yang satu pada
penggunaan bahasa yang lain.
Malmaker (1992: 61-61) membedakan campuran sistem linguistik
ini menjadi dua:
a.
Alih kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa ke dalam bahasa lain
dalam
satu ujaran atau percakapan; dan
b.
Campur kode (code mixing/interference), yaitu penggunaan unsur-unsur bahasa,
dari
satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
RUMUSAN MASALAH
1. Apa pengertian
alih kode dan campur kode?
2. Persamaan dan
Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
3. Faktor-faktor penyebab dan tujuan
melakukan alih kode atau campur kode
4. Apa sikap
bahasa dan pemilihan bahasa?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Alih
Kode
Alih kode adalah peristiwa peralihan
dari satu kode ke kode yang lain. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia
beralih menggunakan bahasa Jawa. Alih kode merupakan salah satu aspek
ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual.
Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya
menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung
mengdukung fungsi masing-masing dan dan masing-masing fungsi sesuai dengan
konteksnya. Appel memberikan batasan alih kode sebagai gejala peralihan
pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Suwito (1985) membagi alih kode
menjadi dua, yaitu
1. Alih
Kode Ekstern. Bila alih bahasa, seperti dari
bahasa Indonesia beralih ke bahasa Inggris atau sebaliknya dan
2. Alih
Kode Intern. Bila alih kode berupa alih
varian, seperti dari bahasa Jawa ngoko merubah ke krama.
Campur
Kode
Campur kode
terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosil, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau
situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam
bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan
bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga
konvergense kebahasaan, campur kode
terjadi karena
adanya hubungan timbal balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan
fungsi bahasa.
Campur kode dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Campur kode ke dalam (innercode-mixing):
Campur kode yang bersumber dari bahasa asli dengan segala variasinya
2. Campur kode ke luar (outer code-mixing):
campur kode yang berasal dari bahasa asing.
B.
Persamaan dan Perbedaan Alih Kode dan Campur Kode
Persamaan alih
kode dan campur kode adalah kedua peristiwa ini lazin terjadi dalam masyarakat
multilingual dalam menggunakan dua bahasa atau lebih. Namun terdapat perbedaan
yang cukup nyata, yaitu alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang
digunakan masih memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan
disengaja, karena sebab-sebab tertentu sedangkan campur kode adalah sebuah kode
utama atau kode dasar yang digunakan memiliki fungsi dan otonomi, sedangkan
kode yang lain yang terlibat dalam penggunaan bahasa tersebut hanyalah berupa
serpihan (pieces) saja, tanpa fungsi dan otonomi sebagai sebuah kode. Unsur
bahasa lain hanya disisipkan pada kode utama atau kode dasar. Sebagai contoh
penutur menggunakan bahasa dalam peristiwa tutur menyisipkan unsur bahasa Jawa,
sehingga tercipta bahasa Indonesia kejawa-jawaan.
Thelander
mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur
terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut
sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa
yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran dan masing-masing klausa
atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur
kode.
C. Faktor-Faktor Penyebab Dan Tujuan
Melakukan Alih Kode Atau Campur Kode
Beberapa faktor penyebab terjadinya
alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan situasi berbahasa yang
dapat diuraikan sebagai berikut:
a.
Pembicara dan Pribadi Pembicara
Pembicara
kadang-kadang sengaja beralih kode terhadap mitra bahasa karena dia mempunyai
maksud dan tujuan tertentu. Dipandang dari pribadi pembicara, ada berbagai
maksud dan tujuan beralih kode antara lain pembicara ingin mengubah situasi
pembicaraan, yakni dari situasi formal yang terikat ruang dan waktu ke situasi
non-formal yang tidak terikat ruang dan waktu. Pembicara kadang-kadang
melakukan campur kode bahasa satu ke dalam bahasa yang lain karena kebiasaan.
b. Mitra
Bicara
Mitra bicara
dapat berupa individu atau kelompok. Dalam masyarakat bilingual, seorang
pembicara yang mula-mula menggunakan satu bahasa dapat beralih kode menggunakan
bahasa lain dengan mitra bicaranya yang mempunyai latar belakang bahasa daerah
yang sama. Misalnya, pembicara dan mitra bicara menggunakan bahasa Jawa beralih
kode menggunakan bahasa Inggris karena hadirnya seorang penutur Inggris yang
memasuki situasi pembicaraan.
c. Tempat
Tinggal dan Waktu Pembicaraan Berlangsung
Pembicaraan yang
terjadi di sebuah terminal bus di Indonesia, misalnya, dilakukan oleh
masyarakat dari berbagai etnis. Dalam masyarakat yang begitu kompleks semacam
itu akan timbul banyak alih kode dan campur kode. Alih bahasa atau campur kode
itu dapat terjadi dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain, dan dari
tingkat tutur suatu bahasa ke tingkat tutur bahasa yang lain.
e. Topik
Dengan
menggunakan topik tertentu, suatu interaksi komunikasi dapat berjalan dengan
lancar. Alih kode dan campur kode dapat terjadi karena faktor topik. Topik
ilmiah disampaikan dalam situasi formal dengan menggunakan ragam formal.
D. Apa sikap dan pengalihan bahasa
Sikap Bahasa
Dalam bahasa Indonesia kata sikap dapat mengacu pada bentuk
tubuh, posisi berdiri yang tegak, perilaku atau gerak-gerik, dan perbuatan atau
tindakan yang dilakukan berdasarkan pandangan (pendirian, keyakinan, atau
pendapat) sebagai reaksi atas adanya suatu hal atau kejadian. Sesungguhnya,
sikap itu adalah fenomena kejiwaan, yang biasanya termanifestasi dalam bentuk
tindakan atau perilaku.
Menurut Allport (1935), sikap adalah kesiapan mental dan
saraf, yang terbentuk melalui pengalaman yang memberikan arah atau pengaruh
yang dinamis kepada reaksi seseorang terhadap semua objek dan keadaan yang
menyangkut sikap itu.
Ketiga ciri sikap bahasa yang dikemukakan Garvin dan Mathiot
itu adalah (1) kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat
suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya
pengeruh bahasa lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong
orang mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan
kesatuan masyarakat, (3) kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm)
yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun dan
merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu
kegiatan menggunkan bahasa (language use).
Pemilihan Bahasa
Menurut Fasold
(1984) hal pertama yang terbayang bila kita memikirkan bahasa adalah ”bahasa
keseluruhan” (whole languages). Dalam hal memilih ini ada tiga jenis pilihan
yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, artinya, menggunakan
satu bahasa pada satu keperluan, dan menggunakan bahasa yang lain pada
keperluan lain. Kedua dengan melakukan campur kode, artinya, menggunakan satu
bahasa tertentu dengan dicampuri serpihan-serpihan dari bahasa lain. Ketiga,
dengan memlilih satu variasi bahasa yang sama.
Penelitian terhadap
pemilihan bahasa menurut Fasold dapat dilakukan berdasarkan tiga pendekatan
disiplin ilmu, yaitu berdasarkan pendekatan sosiologi, pendekatan psikologi
sosial, dan pendekatan antropologi. Di Indonesia secara umum digunakan tiga
buah bahasa dengan tiga domain sasaran, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing.
KESIMPULAN
Alih kode (code switching), yaitu beralih dari satu bahasa
ke dalam bahasa lain
dalam
satu ujaran atau percakapan.
Campur kode (code mixing/interference), yaitu penggunaan
unsur-unsur bahasa,
dari
satu bahasa melalui ujaran khusus ke dalam bahasa yang lain.
Thelander
mebedakan alih kode dan campur kode dengan apabila dalam suatu peristiwa tutur
terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke klausa bahasa lain disebut
sebagai alih kode. Tetapi apabila dalam suatu periswa tutur klausa atau frasa
yang digunakan terdiri atas kalusa atau frasa campuran dan masing-masing klausa
atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsinya sendiri disebut sebagai campur
kode.
Faktor
penyebab terjadinya alih kode atau campur kode dipengaruhi oleh konteks dan
situasi berbahasa
Garvin dan Mathiot itu adalah (1)
kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa
mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengeruh bahasa
lain, (2) kebanggaan bahasa (language pride) yang mendorong orang mengembangkan
bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat.
Ada tiga jenis pilihan
yang dapat dilakukan, yaitu, pertama dengan alih kode, campur kode, dan memlilih
satu variasi bahasa yang sama.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Rahardi, Kunjana. Sosiolinguistik, Kode dan Alih
Kode. Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta; 2001
Ø Suwito. Awal Pengantar Sosiolinguistik, Teori dan
Problema. Surakarta; 1983.