QADHA
DAN QADAR
Imron rosyadi, dumyati, fadhlul rahman
Umat
Islam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan, Pertama:
mereka yang ekstrim dalam menetapkan
qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat
bahwa manusia sama sekali tidak
mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya dikemudikan dan tidak mempunyai
pilihan, laksana bulu yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara
perbuatan manusia yang terjadi atas kehendaknya dan perbuatan yang terjadi
diluar kehendaknya, tentu saja mereka ini keliru dan sesat, kerena sudah jelas
menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara
perbuatan yang di kehendaki dan perbuatan yang terpaksa. Kedua:
mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga
mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan
keinginan Allah serta diciptakan oleh-Nya. Menurut mereka, manusia memiliki
kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa
Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi.
Mereka Qadha dan Qadar inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan
kehendak makhluk. Ketiga: mereka yang beriman, sehingga diberi
petunjuk oleh Allah untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan.
Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh
jalan tengah dengan berpijak di atas dalilsyar’i dan dalil aqli. Mereka
berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah di alam semesta ini terbagi
atas dua macam: Pertama Perbuatan yang dilakukan oleh Allah terhadap
makhluk-Nya. Dalam hal ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti
turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dll. Kedua
Perbutan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak.
Perbuatan ini terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya, karena Allah
menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah “Bagi siapa diantara kamu
yang mau menempuh jalan yang lurus”. (At Takwir: 28). Di antara kamu ada orang
yang menghendaki dunia dan di antara
kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.( Ali Imran: 152). “Maka barang siapa
yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir “ ( Al Kahfi: 29).
Manusia
bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya sendiri dan
yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun
dari atap rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya atas dasar pilihan
dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atap rumah, ia tahu
bahwa hal tersebut bukan karena kehendaknya. Dia dapat membedakan antara kedua
perbuatan ini, yang pertama atas dasar kehendaknya dan yang kedua diluar
kehendaknya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada
seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut. Demikian segala hal yang
terjadi pada diri manusia, dia mengetahui, perbedaan antara mana yang terjadi
dengan kemauannya dan mana yang tidak.
Akan
tetapi, karena kasih sayang Allah, ada diantara perbuatan manusia yang terjadi
atas kemauannya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan
orang yang terlupa, dan orang yang sedang tidur. Firman Allah dalam kisah
Ashabul kahfi:“...Dan kami bolik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al-
Kahfi: 18). Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan
berbalik ke kiri, tetapi Allah menyatakan bahwa dialah yang membalik-balikkan
mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai
kemauan dan pilihan serta tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Maka
perbuatan tersebut di nisbatkan kepada Allah. Dan sabda Nabi Muhammad: “Barang
siapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka
hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan
minum." Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum
adalah Allah, karena perbuatan orang tersebut terjadi di luar kesadarannya,
maka seakan-akan terjadi tanpa kemauannya. Kita semua mengetahui perbedaan
antara perasaan sedih atau perasaan
senang yang kadang kala dirasakan
seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak mengetahui
sebab dari kedua perasaan tersebut yang timbul dari perbuatan yang dilakukan
oleh dirinya sendiri.
Sanggahan Atas Pendapat Pertama
Seandainya
kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang
ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sia lah syari’at ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan
bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu
dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya
yang tercela. Karena pada hakikatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa
kehendak dan keinginan darinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah Maha Suci dari pendapat dan paham yang
demikian ini, merupakan kezhaliman. Jika Allah
menyiksa orang yang berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut
terjadi bukan dengan kehendak dan keinginannya. Pendapat seperti ini sangat jelas
bertentangan dengan firman Allah: “Dan
(malaikat) yang menyertai dia berkata: "inilah (catatan amalnya) yang
tersedia pada sisiku, Allah berfirman: “lemparkanlah olehmu berdua ke dalam
neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat enggan
melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan
yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat
(pedih). Sedang (syaitan) yang menyertai dia berkata: “ya Rabb kami, aku tidak
menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh".
Allah berfirman: “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya
Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat
diubah, dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku" (Qaaf: 23-29).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa siksaan dari-Nya itu adalah karena
keadilan-Nya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-amba-Nya. Sebab
Allah telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan
jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih
jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah untuk
membantah keputusan-Nya. Andai kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya
sia-sialah firman Allah ini: “(Kami utus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
untuk membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha
Perkasa lagi maha Bijaksana ". (An- Nisaa’: 165). Dalam ayat ini Allah
menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi manusia setelah di utusnya para
Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah atas mereka. Maka seandainya masalah
takdir bisa dijadikan alasan bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku
sekalipun sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar (takdir) Allah sudah ada
sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada sesudah mereka diutus.
Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash
(dalil) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh-contoh di
atas.
Sanggahan
Atas Pendapat Kedua
Adapun
pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan
manusia, maka pendapat inipun bertentangan dangan nash dan kenyataan. Sebab
banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia tidak lepas dari kehendak
Allah. Firman Allah: “(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan
yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam". (At Takwir: 28- 29).
"Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya.
Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (Al Qashash: 68).
Mereka
yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari
rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang
tidak dikehendaki dan tidak diciptakan-Nya. Padahal Allah lah yang menghendaki
segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar-Nya. Sekarang kalau
semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah,
lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah
ditakdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk?
Jawabnya:
bahwa Allah menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk dan menyesatkan orang-orang yang patut
menjadi sesat. Firman Allah: “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran)
Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum
yang fasik”.( Ash Shaf: 5). “(Tetapi ) karena mereka melanggar janjinya, Kami
kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merobah
perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan
sebahagian dari apa yang mereka yang
telah diberi peringatan dengannya” (Al Ma’idah: 13).
Di
sini Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali
disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi
bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah
untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi,
maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat
atau menjadi orang yang mendapat petunjuk, yang berpendapat bahwa manusia
memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. Ini tidak
dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan
kemampuan. Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu.
Sebagaimana
di sebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya
kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari
berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh
hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari
pula, lalu Allah mengutus seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat
empat perkara, yaitu rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia
termasuk orang celaka atau bahagia”.
Jadi
rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk,
juga telah tercatat. Jika berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan
kelangsungan kehidupan, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun mencari
dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda tahu kalau ajal telah
ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak berkurang. Anda tidak bersikap
pasrah sambil berkata: “sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita
sakit, karena kalaupun aku ditakdirkan panjang umur aku akan tetap hidup”.
Bahkan anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang
sekiranya dapat menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah. Jika demikian,
mengapa usaha anda di jalan akhirat dan dalam amal shaleh tidak seperti usaha
anda untuk kepentingan duniawi? Sebagaimana telah aku kemukakan bahwa masalah
qadar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak mungkin anda dapat
mengetahuinya. Sekarang anda di antara dua jalan: jalan yang membawa anda
kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan, dan jalan yang dapat
membawa anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan. Sekarang anda sedang
berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih, tak ada
seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan yang kanan atau jalan
yang kiri. Untuk lebih jelasnya, apabila anda mau bepergian ke suatu tempat dan dihadapan anda ada dua jalan. Yang satu
mulus, lebih pendek dan lebih aman, sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan
mengerikan. Tentu saja anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek
dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman.
Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu juga dengan yang non visual,
sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadang-kala hawa nafsulah yang berperan
dan menguasai akal.
Kalau
manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka
iapun seharusnya begitu pula dalam usahanya menuju akhirat. Bahkan jalan menuju
akhirat lebih jelas. Karena Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan
melalui sabda Rasul-Nya, maka jalan menuju akhirat tentu saja lebih jelas dan
lebih terang daripada jalan untuk
kepentingan dunia. Namun kenyataannya, manusia berusaha untuk kepentingan dunia
yang tidak terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah
terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah, dan Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya.
Inilah
yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang menjadi aqidah
serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan
berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas
dari kemauan dan kehendak Allah. Dan Ahlussunnah Wal Jamaah mengimani bahwa
kehendak Allah tidak lepas dari hikmah kebijaksanaan-Nya, bukan kehendak yang
mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah
kebijaksanaan-Nya. Karena di antara asma Allah adalah Al-hakim yang artinya:
Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam
keputusan-Nya. Allah dengan sifat hikmah-Nya, menentukan hidayah bagi siapa
yang di kehendaki-Nya yang menurut pengetahuan-Nya benar-benar menginginkan
al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmah-Nya pula, dia
menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak
senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah tidak dapat menerima bila orang yang
suka akan kesesatan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika
Allah memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Maha Kuasa atas
segala sesuatu. Namun, sifat hikmah-Nya menetapkan bahwa setiap sebab berkait
erat dengan akibatnya.
Tingkatan
Qadha’ Dan Qadar
Menurut
Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan: Pertama:
Al-‘Ilm (pengetahuan) Artinya: mengimani dan meyakini bahwa Allah Maha Tahu
atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara
umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatan-Nya sendiri atau perbuatan
makhluk-Nya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya. Kedua:
Al-kitabah (penulisan) Artinya: mengimani bahwa Allah telah menuliskan
ketetapan segala sesuatu dalam lauh mahfuzh. Kedua tingkatan ini sama-sama
dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi,
bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (Al- Hajj:70). Dalam ayat
ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah mengetahui apa saja yang ada di langit
dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah
kitab lauh mahfuzh.
Ketiga: Al-Masyiah
(kehendak). Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di
langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah. hal ini dinyatakan jelas
dalam Al Qur’an Al Karim. Dan Allah telah menetapkan bahwa apa yang
diperbuat-Nya, serta apa yang diperbuat para hamba-Nya juga atas kehendak-Nya.
Firman Allah: “(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang
lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. ( At Takwir: 28-29). “Jikalau Tuhanmu
menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”.(Al–An’am:112). “Seandainya
Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat
apa yang dikehandaki-Nya” (Al Baqarah:253). Dalam ayat-ayat tersebut Allah
menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan
kehendak-Nya. Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang
diperbuat Allah adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah: “Dan kalau
Kami menghendaki niscaya akan Kami berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk
(bagi) nya” (As Sajdah: 13). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan
manusia umat yang satu”. (Huud: 118). Dan banyak lagi ayat–ayat yang menetapkan
kehendak Allah dalam apa yang diperbuat-Nya. Oleh karena itu, tidaklah sempurna
keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa
kehendak Allah meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak
terjadi kecuali dengan kehendak-Nya. Tak
mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit
ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah.
Keempat: Al-Khalq
(penciptaan) Artinya: mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang
ada di langit dan di bumi Penciptanya tiada lain kecuali Allah. Sampai
“kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan. Firman Allah: “Yang
menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya” (Al Mulk: 2). Jadi segala sesuatu yang ada di langit
ataupun di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah.
Kita
semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah
adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang,
angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa
yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti: sifat, perubahan dan keadaan,
itupun ciptaan Allah. Apabila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan
kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan
kemampuan manusia adalah Allah. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang
menciptakan akibatnya. Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang
menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia
itu timbul karena dua faktor, yaitu: kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak
ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata
dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata
dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.
Keempat
tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah. Dan hal ini
tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan.
Seperti halnya kita katakan: “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat
membakar adalah Allah. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab
seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim
dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau
tidak mengalami luka bakar sedikitpun, karena Allah berfirman kepada api itu: “Hai
api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim” (Al Anbiya’: 69).
Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat
walafiat. Jadi api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah
yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api
untuk membakar adalah sama dengan
kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada bedanya.
Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan,
maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia
akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat
menurut kehendak dan kemauannya sendiri
0 komentar:
Posting Komentar