base target='_blank' /> QADHA DAN QADAR ~ KUMPULAN ILMU-ILMU
Selamat Datang maaf jika didalam blog kami masih banyak kesalahan 

Selamat Datang maaf jika didalam blog kami masih banyak kesalahan 


Pages

Selasa, 30 April 2013

QADHA DAN QADAR


QADHA DAN QADAR
Imron rosyadi, dumyati, fadhlul rahman

Umat Islam dalam masalah qadar ini terpecah menjadi tiga golongan, Pertama: mereka yang ekstrim dalam  menetapkan qadar dan menolak adanya kehendak dan kemampuan makhluk. Mereka berpendapat bahwa manusia  sama sekali tidak mempunyai kemampuan dan keinginan, dia hanya dikemudikan dan tidak mempunyai pilihan, laksana bulu yang tertiup angin. Mereka tidak membedakan antara perbuatan manusia yang terjadi atas kehendaknya dan perbuatan yang terjadi diluar kehendaknya, tentu saja mereka ini keliru dan sesat, kerena sudah jelas menurut agama, akal dan adat kebiasaan bahwa manusia dapat membedakan antara perbuatan yang di kehendaki dan perbuatan yang terpaksa. Kedua: mereka yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk sehingga mereka menolak bahwa apa yang diperbuat manusia adalah karena kehendak dan keinginan Allah serta diciptakan oleh-Nya. Menurut mereka, manusia memiliki kebebasan atas perbuatannya. Bahkan ada diantara mereka yang mengatakan bahwa Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat oleh manusia kecuali setelah terjadi. Mereka Qadha dan Qadar inipun sangat ekstrim dalam menetapkan kemampuan dan kehendak makhluk. Ketiga: mereka yang beriman, sehingga diberi petunjuk oleh Allah untuk menemukan kebenaran yang telah diperselisihkan. Mereka itu adalah Ahlussunnah Wal Jamaah. Dalam masalah ini mereka menempuh jalan tengah dengan berpijak di atas dalilsyar’i dan dalil aqli. Mereka berpendapat bahwa perbuatan yang dijadikan Allah di alam semesta ini terbagi atas dua macam: Pertama Perbuatan yang dilakukan oleh Allah terhadap makhluk-Nya. Dalam hal ini tak ada kekuasaan dan pilihan bagi siapapun. Seperti turunnya hujan, tumbuhnya tanaman, kehidupan, kematian, sakit, sehat dll.  Kedua  Perbutan yang dilakukan oleh semua makhluk yang mempunyai kehendak. Perbuatan ini terjadi atas dasar keinginan dan kemauan pelakunya, karena Allah menjadikannya untuk mereka. Sebagaimana firman Allah “Bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus”. (At Takwir: 28). Di antara kamu ada orang yang menghendaki  dunia dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akhirat”.( Ali Imran: 152). “Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir “ ( Al Kahfi: 29).
Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi karena kehendaknya sendiri dan yang terjadi karena terpaksa. Sebagai contoh, orang yang dengan sadar turun dari atap rumah melalui tangga, ia tahu kalau perbuatannya atas dasar pilihan dan kehendaknya sendiri. Lain halnya kalau ia terjatuh dari atap rumah, ia tahu bahwa hal tersebut bukan karena kehendaknya. Dia dapat membedakan antara kedua perbuatan ini, yang pertama atas dasar kehendaknya dan yang kedua diluar kehendaknya. Dia mengetahui perbedaan antara kedua hal ini dan tak ada seorangpun yang mengingkari adanya perbedaan tersebut. Demikian segala hal yang terjadi pada diri manusia, dia mengetahui, perbedaan antara mana yang terjadi dengan kemauannya dan mana yang tidak.
Akan tetapi, karena kasih sayang Allah, ada diantara perbuatan manusia yang terjadi atas kemauannya namun tidak dinyatakan sebagai perbuatannya. Seperti perbuatan orang yang terlupa, dan orang yang sedang tidur. Firman Allah dalam kisah Ashabul kahfi:“...Dan kami bolik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri …” (Al- Kahfi: 18). Padahal mereka sendiri yang sebenarnya berbalik ke kanan dan berbalik ke kiri, tetapi Allah menyatakan bahwa dialah yang membalik-balikkan mereka ke kanan dan ke kiri, sebab orang yang sedang tidur tidak mempunyai kemauan dan pilihan serta tidak mendapatkan hukuman atas perbuatannya. Maka perbuatan tersebut di nisbatkan kepada Allah. Dan sabda Nabi Muhammad: “Barang siapa yang lupa ketika dalam keadaan berpuasa, lalu makan atau minum, maka hendaklah ia menyempurnakan puasanya, karena Allah yang memberinya makan dan minum." Dinyatakan dalam hadits ini, bahwa yang memberi makan dan minum adalah Allah, karena perbuatan orang tersebut terjadi di luar kesadarannya, maka seakan-akan terjadi tanpa kemauannya. Kita semua mengetahui perbedaan antara  perasaan sedih atau perasaan senang  yang kadang kala dirasakan seseorang dalam dirinya tanpa kemauannya serta dia sendiri tidak mengetahui sebab dari kedua perasaan tersebut yang timbul dari perbuatan yang dilakukan oleh dirinya sendiri.
Sanggahan Atas Pendapat Pertama
Seandainya kita mengambil dan mengikuti pendapat golongan yang pertama, yaitu mereka yang ekstrim dalam menetapkan qadar, niscaya sia-sia lah syari’at  ini dari tujuan semula. Sebab bila dikatakan bahwa manusia tidak mempunyai kehendak dalam perbuatannya, berarti tidak perlu dipuji atas perbuatannya yang terpuji dan tidak perlu dicela atas perbuatannya yang tercela. Karena pada hakikatnya perbuatan tersebut dilakukan tanpa kehendak dan keinginan darinya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Allah  Maha Suci dari pendapat dan paham yang demikian ini, merupakan kezhaliman. Jika Allah  menyiksa orang yang berbuat maksiat yang perbuatan maksiat tersebut terjadi bukan dengan kehendak dan keinginannya. Pendapat seperti ini sangat jelas bertentangan dengan firman Allah:  “Dan (malaikat) yang menyertai dia berkata: "inilah (catatan amalnya) yang tersedia pada sisiku, Allah berfirman: “lemparkanlah olehmu berdua ke dalam neraka semua orang yang sangat ingkar dan keras kepala, yang sangat enggan melakukan kebaikan, melanggar batas lagi ragu-ragu, yang menyembah sesembahan yang lain beserta Allah, maka lemparkanlah dia ke dalam siksaan yang sangat (pedih). Sedang (syaitan) yang menyertai dia berkata: “ya Rabb kami, aku tidak menyesatkannya, tetapi dialah yang berada dalam kesesatan yang jauh". Allah berfirman: “Janganlah kamu bertengkar di hadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu. Keputusan di sisi-Ku tidak dapat diubah, dan Aku sekali-kali tidak menganiaya hamba-hamba-Ku" (Qaaf: 23-29). Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa siksaan dari-Nya itu adalah karena keadilan-Nya, dan sama sekali Dia tidak zhalim terhadap hamba-amba-Nya. Sebab Allah telah memberikan peringatan dan ancaman kepada mereka, telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kesesatan bagi mereka, akan tetapi mereka memilih jalan kesesatan, maka mereka tidak akan memiliki alasan di hadapan Allah untuk membantah keputusan-Nya. Andai kita menganut pendapat yang batil ini, niscaya sia-sialah firman Allah ini: “(Kami utus mereka) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah sesudah di utusnya Rasul-rasul itu. Dan Allah maha Perkasa lagi maha Bijaksana ". (An- Nisaa’: 165). Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa tidak ada alasan lagi bagi manusia setelah di utusnya para Rasul, karena sudah jelas hujjah Allah atas mereka. Maka seandainya masalah takdir bisa dijadikan alasan bagi mereka, tentu alasan ini akan tetap berlaku sekalipun sesudah di utusnya para Rasul. Karena qadar (takdir) Allah sudah ada sejak dahulu sebelum diutusnya para Rasul dan tetap ada sesudah mereka diutus. Dengan demikian pendapat ini adalah batil karena tidak sesuai dengan nash (dalil) dan kenyataan, sebagaimana telah kami uraikan dengan contoh-contoh di atas.
Sanggahan Atas Pendapat Kedua
Adapun pendapat kedua, yaitu pendapat golongan yang ekstrim dalam menetapkan kemampuan manusia, maka pendapat inipun bertentangan dangan nash dan kenyataan. Sebab banyak ayat yang menjelaskan bahwa kehendak manusia tidak lepas dari kehendak Allah. Firman Allah: “(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila di kehendaki oleh Allah, Tuhan semesta Alam". (At Takwir: 28- 29). "Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka” (Al Qashash: 68).
Mereka yang menganut pendapat ini sebenarnya telah mengingkari salah satu dari rububiyah Allah, dan berprasangka bahwa ada dalam kerajaan Allah ini apa yang tidak dikehendaki dan tidak diciptakan-Nya. Padahal Allah lah yang menghendaki segala sesuatu, menciptakannya dan menentukan qadar-Nya. Sekarang kalau semuanya kembali kepada kehendak Allah dan segalanya berada di Tangan Allah, lalu apakah jalan dan upaya yang akan ditempuh seseorang apabila dia telah ditakdirkan Allah tersesat dan tidak dapat petunjuk?
Jawabnya: bahwa Allah menunjuki orang-orang yang patut mendapat petunjuk  dan menyesatkan orang-orang yang patut menjadi sesat. Firman Allah: “Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran) Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tiada memberi petunjuk kepada kaum yang fasik”.( Ash Shaf: 5). “(Tetapi ) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu, mereka suka merobah perkataan (Allah) dari tempat-tempatnya, dan mereka (sengaja) melupakan sebahagian dari apa yang  mereka yang telah diberi peringatan dengannya” (Al Ma’idah: 13).
Di sini Allah menjelaskan bahwa Dia tidak menyesatkan orang yang sesat kecuali disebabkan oleh dirinya sendiri. Dan sebagaimana telah kami terangkan tadi bahwa manusia tidak dapat mengetahui apa yang telah ditakdirkan oleh Allah untuk dirinya. Karena dia tidak mengetahui takdirnya kecuali apabila sudah terjadi, maka dia tidak tahu apakah dia ditakdirkan Allah menjadi orang yang tersesat atau menjadi orang yang mendapat petunjuk, yang berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dalam perbuatannya dan mengingkari adanya takdir. Ini tidak dibenarkan sama sekali, sebab sebenarnya manusia mempunyai kehendak dan kemampuan. Masalah hidayah persis seperti masalah rizki dan menuntut ilmu.
Sebagaimana di sebutkan dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud: “Sesungguhnya kalian ini dihimpunkan kejadiannya dalam perut ibu selama empat puluh hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama empat puluh hari pula, kemudian berubah menjadi segumpal daging selama empat puluh hari pula, lalu Allah mengutus seorang malaikat yang diberi tugas untuk mencatat empat perkara, yaitu rizkinya, ajalnya, amal perbuatannya dan apakah ia termasuk orang celaka atau bahagia”.
Jadi rizki inipun telah tercatat seperti halnya amal perbuatan, baik ataupun buruk, juga telah tercatat. Jika berusaha untuk mencari rizki dan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan, sehingga kalau anda sakit, pergi kemanapun mencari dokter ahli untuk mengobati penyakit anda, padahal anda tahu kalau ajal telah ditentukan, tidak akan dapat bertambah dan tidak berkurang. Anda tidak bersikap pasrah sambil berkata: “sudahlah aku tetap tinggal di rumah saja meski menderita sakit, karena kalaupun aku ditakdirkan panjang umur aku akan tetap hidup”. Bahkan anda berusaha sekuat tenaga untuk mencari dokter yang ahli, yang sekiranya dapat menyembuhkan penyakit anda dengan takdir Allah. Jika demikian, mengapa usaha anda di jalan akhirat dan dalam amal shaleh tidak seperti usaha anda untuk kepentingan duniawi? Sebagaimana telah aku kemukakan bahwa masalah qadar adalah rahasia Allah yang tersembunyi, tak mungkin anda dapat mengetahuinya. Sekarang anda di antara dua jalan: jalan yang membawa anda kepada keselamatan, kebahagiaan, kedamaian dan kemuliaan, dan jalan yang dapat membawa anda kepada kehancuran, penyesalan, dan kehinaan. Sekarang anda sedang berdiri di antara ujung kedua jalan tersebut dan bebas untuk memilih, tak ada seorangpun yang akan merintangi anda untuk melalui jalan yang kanan atau jalan yang kiri. Untuk lebih jelasnya, apabila anda mau bepergian ke suatu tempat  dan dihadapan anda ada dua jalan. Yang satu mulus, lebih pendek dan lebih aman, sedang yang kedua rusak, lebih panjang dan mengerikan. Tentu saja anda akan memilih jalan yang mulus, yang lebih pendek dan lebih aman, tidak memilih jalan yang tidak mulus, tidak pendek dan tidak aman. Ini berkenaan dengan jalan yang visual, begitu juga dengan yang non visual, sama saja dan tidak ada bedanya. Namun kadang-kala hawa nafsulah yang berperan dan menguasai akal.
Kalau manusia berbuat dengan kehendak dan pilihannya untuk kepentingan dunia, maka iapun seharusnya begitu pula dalam usahanya menuju akhirat. Bahkan jalan menuju akhirat lebih jelas. Karena Allah telah menjelaskannya dalam Al-Qur’an dan melalui sabda Rasul-Nya, maka jalan menuju akhirat tentu saja lebih jelas dan lebih terang  daripada jalan untuk kepentingan dunia. Namun kenyataannya, manusia berusaha untuk kepentingan dunia yang tidak terjamin hasilnya dan meninggalkan jalan menuju akhirat yang telah terjamin hasilnya dan diketahui balasannya berdasarkan janji Allah, dan Allah tidak akan menyalahi janji-Nya.
Inilah yang menjadi ketetapan Ahlussunnah Wal Jamaah dan inilah yang menjadi aqidah serta madzhab mereka, yaitu bahwa manusia berbuat atas dasar kemauannya dan berkata menurut keinginannya, tetapi keinginan dan kemauannya itu tidak lepas dari kemauan dan kehendak Allah. Dan Ahlussunnah Wal Jamaah mengimani bahwa kehendak Allah tidak lepas dari hikmah kebijaksanaan-Nya, bukan kehendak yang mutlak dan absolut, tetapi kehendak yang senantiasa sesuai dengan hikmah kebijaksanaan-Nya. Karena di antara asma Allah adalah Al-hakim yang artinya: Maha Bijaksana yang memutuskan segala sesuatu dan bijaksana dalam keputusan-Nya. Allah dengan sifat hikmah-Nya, menentukan hidayah bagi siapa yang di kehendaki-Nya yang menurut pengetahuan-Nya benar-benar menginginkan al-haq dan hatinya dalam istiqamah. Dan dengan sifat hikmah-Nya pula, dia menentukan kesesatan bagi siapa yang suka akan kesesatan dan hatinya tidak senang dengan Islam. Sifat hikmah Allah tidak dapat menerima bila orang yang suka akan kesesatan termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk, kecuali jika Allah memperbaiki hatinya dan merubah kehendaknya, dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Namun, sifat hikmah-Nya menetapkan bahwa setiap sebab berkait erat dengan akibatnya.
Tingkatan Qadha’ Dan Qadar
Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah, qadha’ dan qadar mempunyai empat tingkatan: Pertama: Al-‘Ilm (pengetahuan) Artinya: mengimani dan meyakini bahwa Allah Maha Tahu atas segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, secara umum maupun terperinci, baik itu termasuk perbuatan-Nya sendiri atau perbuatan makhluk-Nya. Tak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi-Nya. Kedua: Al-kitabah (penulisan) Artinya: mengimani bahwa Allah telah menuliskan ketetapan segala sesuatu dalam lauh mahfuzh. Kedua tingkatan ini sama-sama dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya: “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (lauh mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah” (Al- Hajj:70). Dalam ayat ini disebutkan lebih dahulu bahwa Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi, kemudian dikatakan bahwa yang demikian itu tertulis dalam sebuah kitab lauh mahfuzh.
Ketiga: Al-Masyiah (kehendak). Artinya: bahwa segala sesuatu, yang terjadi atau tidak terjadi, di langit dan di bumi, adalah dengan kehendak Allah. hal ini dinyatakan jelas dalam Al Qur’an Al Karim. Dan Allah telah menetapkan bahwa apa yang diperbuat-Nya, serta apa yang diperbuat para hamba-Nya juga atas kehendak-Nya. Firman Allah: “(Yaitu) bagi siapa diantara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam”. ( At Takwir: 28-29). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya”.(Al–An’am:112). “Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehandaki-Nya” (Al Baqarah:253). Dalam ayat-ayat tersebut Allah menjelaskan bahwa apa yang diperbuat oleh manusia itu terjadi dengan kehendak-Nya. Dan banyak pula ayat-ayat yang menunjukkan bahwa apa yang diperbuat Allah adalah dengan kehendak-Nya. Seperti firman Allah: “Dan kalau Kami menghendaki niscaya akan Kami berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi) nya” (As Sajdah: 13). “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu dia menjadikan manusia umat yang satu”. (Huud: 118). Dan banyak lagi ayat–ayat yang menetapkan kehendak Allah dalam apa yang diperbuat-Nya. Oleh karena itu, tidaklah sempurna keimanan seseorang kepada qadar (takdir) kecuali dengan mengimani bahwa kehendak Allah meliputi segala sesuatu. Tak ada yang terjadi atau tidak terjadi  kecuali dengan kehendak-Nya. Tak mungkin ada sesuatu yang terjadi di langit  ataupun di bumi tanpa dengan kehendak Allah.
Keempat: Al-Khalq (penciptaan) Artinya: mengimani bahwa Allah pencipta segala sesuatu. Apa yang ada di langit dan di bumi Penciptanya tiada lain kecuali Allah. Sampai “kematian” lawan dari kehidupan itupun diciptakan. Firman Allah: “Yang menjadikan hidup dan mati, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” (Al Mulk: 2). Jadi segala sesuatu yang ada di langit ataupun di bumi penciptanya tiada lain kecuali Allah.
Kita semua mengetahui dan meyakini bahwa apa yang terjadi dari hasil perbuatan Allah adalah ciptaan-Nya. Seperti langit, bumi, gunung, sungai, matahari, bulan, bintang, angin, manusia dan hewan kesemuanya adalah ciptaan Allah. Demikian pula apa yang terjadi untuk para makhluk ini, seperti: sifat, perubahan dan keadaan, itupun ciptaan Allah. Apabila perbuatan manusia timbul karena kehendak dan kemampuannya, maka perlu diketahui bahwa yang menciptakan kehendak dan kemampuan manusia adalah Allah. Dan siapa yang menciptakan sebab dialah yang menciptakan akibatnya. Jadi, sebagai argumentasi bahwa Allah-lah yang menciptakan perbuatan manusia maksudnya adalah bahwa apa yang diperbuat manusia itu timbul karena dua faktor, yaitu: kehendak dan kemampuan. Andaikata tidak ada kehendak dan kemampuan, tentu manusia tidak akan berbuat, karena andaikata dia menghendaki, tetapi tidak mampu, tidak akan dia berbuat, begitu pula andaikata dia mampu, tetapi tidak menghendaki, tidak akan terjadi suatu perbuatan.
Keempat tingkatan yang disebutkan tadi wajib kita tetapkan untuk Allah. Dan hal ini tidak bertentangan apabila kita katakan bahwa manusia sebagai pelaku perbuatan. Seperti halnya kita katakan: “api membakar” padahal yang menjadikan api dapat membakar adalah Allah. Api tidak dapat membakar dengan sendirinya, sebab seandainya api dapat membakar dengan sendirinya, tentu ketika nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api, akan terbakar hangus. Akan tetapi, ternyata beliau tidak mengalami luka bakar sedikitpun, karena Allah berfirman kepada api itu: “Hai api, jadilah dingin dan keselamatan bagi Ibrahim” (Al Anbiya’: 69).
Sehingga Nabi Ibrahim tidak terbakar, bahkan tetap dalam keadaan sehat walafiat. Jadi api tidak dapat membakar dengan sendirinya, tetapi Allah-lah yang menjadikan api tersebut mempunyai kekuatan untuk membakar. Kekuatan api untuk membakar adalah sama  dengan kehendak dan kemampuan pada diri manusia untuk berbuat, tidak ada bedanya. Hanya saja, Karena manusia mempunyai kehendak, perasaan, pilihan dan tindakan, maka secara hukum yang dinyatakan sebagai pelaku tindakan adalah manusia. Dia akan mendapat balasan sesuai dengan apa yang diperbuatnya, karena dia berbuat menurut kehendak dan kemauannya sendiri

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.