Hukum Orang Yang Meninggalkan Shalat
Oleh: Imron Rosyadi, Dumyati, Fadh Lul Rahman
Masalah
ini termasuk salah satu masalah ilmu yang amat besar, diperdebatkan oleh para
ulama pada zaman dahulu dan masa sekarang. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan:
“Orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yaitu kekafiran yang menyebabkan
orang tersebut keluar dari Islam, diancam hukuman mati, jika tidak bertaubat
dan tidak mengerjakan shalat.
Sementara
Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan: “Orang yang meninggalkan shalat
adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya,
menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan
menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila
masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib adalah
dikembalikan kepada kitab Allah SWT dan sunnah Rasulullah SAW, karena Allah
berfirman:
“Tentang sesuatu apapun yang kamu
perselisihkan, maka putusannya (terserah) kepada Allah.” (QS. As
Syuura: 10).
Kalau
kita kembalikan perbedaan pendapat ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, maka
akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa
orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan
ia keluar dari islam.
Pertama : Dalil dari Al-Qur'an:
Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah ayat 11:
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara saudaramu seagama.” (QS. At
Taubah: 11).
Dan dalam surat Maryam ayat 59-60, Allah berfirman:
“Lalu datanglah
sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan, kecuali
orang yang bertaubat, beriman dan beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk
surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam: 59-60).
Relevansi
ayat kedua, yaitu yang terdapat dalam surat
Maryam, bahwa Allah berfirman tentang orang-orang yang menyia-nyiakan shalat
dan memperturutkan hawa nafsunya: "kecuali orang yang bertaubat,
beriman…”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan
relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah, bahwa kita dan orang-orang
musyrik telah menentukan tiga syarat:
· Hendaklah
mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah
mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah
mereka menunaikan zakat.
Jika
mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak pula
menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita. Begitu
pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka
pun bukan saudara seagama kita.
Persaudaraan
seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika seseorang keluar
secara keseluruhan dari agama; tidak dinyatakan hilang atau tidak ada karena
kefasikan dan kekafiran yang sederhana tingkatannya.
Kemudian
cobalah anda perhatikan firman Allah SWT tentang dua golongan dari kaum
mu’minin yang berperang:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang
mu’min berperang, maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua
golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah
golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah
Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah,
sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil, sesungguhnya orang-orang
mu’min adalah bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu…”. (QS. Al
Hujurat: 9).
Di
sini Allah SWT menetapkan persaudaraan antara pihak pendamai dan kedua pihak
yang berperang, padahal memerangi orang mu’min termasuk kekafiran, sebagaimana
disebutkan dalam hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah SWT bersabda:
)) سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ
وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ((
“Menghina seorang
Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun
kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata menyebabkan
keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara seiman. Sedangkan
ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah pihak sekalipun berperang
mereka masih saudara seiman.
Dengan
demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang menyebabkan
keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja atau kekafiran
yang sederhana tingkatannya (yang tidak menyebabkan keluar dari Islam) maka
persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya, sebagaimana tidak
dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang mu’min.
Jika
ada pertanyaan: Apakah anda berpendapat bahwa orang yang tidak menunaikan zakat
pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya
adalah: Orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat
sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan dari Imam
Ahmad rahimahullah.
Akan
tetapi pendapat yang kuat menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak
kafir, namun diancam hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits
hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, seperti hadits yang
dituturkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau
membayar zakat, disebutkan di bagian akhir hadits:
(( ثُمَّ يَرَى سَبِيْلَهُ إِمَّا إِلىَ الْجَنَّةِ وَإِمَّا إِلىَ
النَّارِ ))
“ … Kemudian ia
akan melihat jalannya, menuju ke surga atau ke neraka.”
Hadits
ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab: “dosa orang yang
tidak mau membayar zakat”.
Ini
adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat tidak
menjadi kafir, sebab andaikata ia menjadi kafir, maka tidak akan ada jalan
baginya menuju surga.
Dengan
demikian manthuq (yang tersurat) dari hadits ini lebih didahulukan dari
pada mafhum (yang tersirat) dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi,
karena sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq
lebih didahulukan dari pada mafhum.
Kedua: Dalil
dari As Sunnah
Diriwayatkan
dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
((
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya
(batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab: Al-Iman) .
Diriwayatkan
dari Buraidah bin Al Hushaib radhiallahu ‘anhu, ia berkata: aku
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
((
اَلْعَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ
كَفَرَ ))
“Perjanjian antara
kita dan mereka adalah shalat, barangsiapa yang meninggalkannya maka benar
benar ia telah kafir.” (HR.Abu Daud, Turmudzi, An Nasa'i, Ibnu Majah dan Imam
Ahmad).
Yang
dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan keluar dari
Islam, karena Nabi Muhammad SAW menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara
orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara
jelas bahwa aturan orang kafir tidak sama dengan aturan orang Islam. Karena
itu, barang siapa yang tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk
golongan orang kafir.
Diriwayatkan
dalam shahih Muslim, dari Ummu Salamah radliallahu 'anha, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( سَتَكُوْنُ
أُمَـرَاء ، فَتَعْرِفُوْنَ وَتُنْكِـرُوْنَ ، فَمَنْ عَرَفَ بَرَئَ، وَمَنْ
أَنْكَـرَ سَلِمَ ، وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ، قَالُوْا: أَفَلاَ
نُقَاتِلُهُمْ ؟ قَالَ: لاَ مَا صَلُّوْا ))
“Akan ada para
pemimpin, dan diantara kamu ada yang mengetahui dan menolak kemungkaran
kemungkaran yang dilakukannya, barangsiapa yang mengetahui bebaslah ia, dan
barangsiapa yang menolaknya selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela
dan mengikuti, (tidak akan selamat), para sahabat bertanya: bolehkah kita
memerangi mereka? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:"
Tidak, selama mereka mengerjakan shalat.”
Diriwayatkan
pula dalam shahih Muslim, dari Auf bin Malik radhiallahu ‘anhu ia
berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
(( خِيَارُ
أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُحِبُّوْنَهُمْ وَيُحِبُّوْنَكُمْ ، وَيُصَلُّوْنَ
عَلَيْكُمْ وَتُصَلُّوْنَ عَلَيْهِمْ ، وَشِرَارُ أَئِمَّتِكُمُ الَّذِيْنَ تُبْغِضُوْنَهُمْ وَيُبْغِضُوْنَكُمْ
، وَتَلْعَنُوْنَهُمْ وَيَلْعَنُوْنَكُمْ ، قِيْلَ: يَا رَسُـوْلَ اللهِ، أَفَلاَ
نُنَابِذُهُمْ بِالسَّيْفِ ؟ قَالَ : لاَ ، مَا أَقَامُوْا فِيْكُمُ الصَّلاَةَ))
“Pemimpin kamu
yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan merekapun menyukai kamu, serta
mereka mendo'akanmu dan kamupun mendoakan mereka, sedangkan pemimpin kamu yang
paling jahat adalah mereka yang kamu benci dan merekapun membencimu, serta kamu
melaknati mereka dan merekapun melaknatimu, beliau ditanya: ya Rasulallah,
bolehkan kita memusuhi mereka dengan pedang? beliau menjawab: "tidak, selama
mereka mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua
hadits yang terakhir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para
pemimpin dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan
tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka melakukan
kekafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti di hadapan Allah nanti,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash Shamit radhiallahu
‘anhu:
(( دَعَانَا رَسُوْلُ اللهِ r فَبَايَعْنَاهُ ، فَكَانَ فِيْمَا
أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ فَيْ مَنْشَطِناَ
وَمَكْرَهِنَا وَعُسْرِناَ وَيُسْرِنَا وَأَثْرَةٍ عَلَيْنَا ، وَأَنْ لاَ
نُنَازِعَ الْأَمْـرَ أَهْلَهُ ، قَالَ : إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَّاحًا
عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَان))
“Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengajak kami, dan kamipun membai'at
beliau, di antara bai’at yang diminta dari kami ialah hendaklah kami membai’at
untuk senantiasa patuh dan taat, baik dalam keadaan senang maupun susah, dalam
kesulitan maupun kemudahan, dan mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan
janganlah kami menentang orang yang telah terpilih dalam urusan (kepemimpinan)
ini, sabda beliau:” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang- terangan
yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas
dasar ini, maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi mereka
dengan pedang adalah kekafiran yang terang-terangan yang bisa kita jadikan
bukti dihadapan Allah nanti.
Tidak
ada satu nash pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang
yang meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. Kalaupun ada
hanyalah nash-nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La ilaha
Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh karenanya,
namun nash-nash tersebut muqayyad (dibatasi) oleh ikatan-ikatan yang
terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak mungkin shalat itu
ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi tertentu yang menjadi alasan
bagi seseorang untuk meninggalkan shalat, atau bersifat umum sehingga perlu
difahami menurut dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat, sebab dalil-dalil yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan
shalat bersifat khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari
pada dalil yang umum.
Allah
telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas dasar
mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama atas dasar
mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya, Allah tidak
berfirman: "Jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban shalat”, Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam pun tidak bersabda: "Batas
pemisah antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah mengingkari
kewajiban shalat”, atau “perjanjian antara kita dan mereka ialah pengakuan
terhadap kewajiban shalat, barang siapa yang mengingkari kewajibannya maka dia
telah kafir”.
Seandainya
pengertian ini yang dimaksud oleh Allah subhaanahu wa ta’aala dan
Rasul-Nya, maka tidak menerima pengertian yang demikian ini berarti menyalahi
penjelasan yang dibawa oleh Al Qur’an.
Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman:
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Qur’an) agar kamu menerangkan kepada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka …”. (QS. An Nahl: 44).
Menjadikan
ketentuan yang tidak ditetapkan oleh Allah sebagai landasan hukum. Mengingkari
kewajiban shalat lima
waktu tentu menyebabkan kekafiran bagi pelakunya, tanpa alasan karena tidak
mengetahuinya, baik dia mengerjakan shalat atau tidak mengerjakannya.
Kalau
ada seseorang yang mengerjakan shalat lima
waktu dengan melengkapi segala syarat, rukun, dan hal-hal yang wajib dan
sunnah, namun dia mengingkari kewajiban shalat tersebut, tanpa ada suatu alasan
apapun, maka orang tersebut telah kafir, sekalipun dia tidak meninggalkan
shalat.
Dengan
demikian jelaslah bahwa tidak benar jika nash-nash tersebut dikenakan kepada
orang yang meninggalkan shalat karena mengingkari kewajibannya, yang benar
ialah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir dengan kekafiran yang
menyebabkannya keluar dari Islam, sebagaimana secara tegas dinyatakan dalam
salah satu hadits riwayat Ibnu Abi Hatim dalam kitab Sunan, dari Ubadah bin
Shamit radhiallahu ‘anhu ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam telah berwasiat kepada kita:
((
لاَ تُشْرِكُوْا بِاللهِ شَيْئًا، وَلاَ تَتْرُكُوا الصَّلاَةَ عَمْدًا، فَمَنْ
تَرَكَهَا عَمْدًا مُتَعَمِّدًا فَقَدْ خَرَجَ مَنَ الْمِلَّةِ ))
“Janganlah kamu
berbuat syirik kepada Allah sedikitpun, dan janganlah kamu sengaja meninggalkan
shalat, barangsiapa yang benar-benar dengan sengaja meninggalkan shalat maka ia
telah keluar dari Islam.”
Demikian
pula, jika hadits ini kita kenakan kepada orang yang meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya, maka penyebutan kata “shalat” secara khusus dalam
nash-nash tersebut tidak ada gunanya sama sekali.
Hukum
ini bersifat umum, termasuk zakat, puasa, dan haji, barangsiapa yang
meninggalkan salah satu kewajiban tersebut karena mengingkari kewajibannya,
maka ia telah kafir, jika tanpa alasan karena tidak mengetahui. Karena orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir menurut dalil naqli (Al -Qur’an
dan As Sunnah), maka menurut dalil 'aqli nadzari (logika) pun demikian.
Bagaimana
seseorang dikatakan memiliki iman, sementara dia meninggalkan shalat yang
merupakan sendi agama. Dan pahala yang dijanjikan bagi orang yang
mengerjakannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk
segera melaksanakan dan mengerjakannya. Serta ancaman bagi orang yang
meninggalkannya menuntut kepada setiap orang yang berakal dan beriman untuk
tidak meninggalkan dan melalaikannya. Dengan demikian, apabila seseorang
meninggalkan shalat, berarti tidak ada lagi iman yang tersisa pada dirinya.
Jika
ada pertanyaan: Apakah kekafiran bagi orang yang meninggalkan shalat tidak
dapat diartikan sebagai kufur ni’mat, bukan kufur millah (yang mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam), atau diartikan sebagai kekafiran yang tingkatannya
dibawah kufur akbar, seperti kekafiran yang disebutkan dalam hadits dibawah
ini, yang mana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersaba:
((
ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ ،
وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))
“Ada dua perkara
terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka,
yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang yang telah mati.”
((
سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوْقٌ وَقِتَالُهُ كُفْرٌ ))
“Menghina seorang
muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Jawab:
Pengertian seperti ini dengan mengacu pada contoh tersebut tidak benar, karena
beberapa alasan:
Pertama
: Bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara kekafiran dan keimanan, antara
orang-orang mu’min dan orang-orang kafir, dan batas ialah yang membedakan apa
saja yang dibatasi, serta memisahkannya dari yang lain, sehingga kedua hal yang
dibatasi berlainan, dan tidak bercampur antara yang satu dengan yang lain.
Kedua
: Shalat adalah salah satu rukun Islam, maka penyebutan kafir terhadap orang
yang meninggalkannya berarti kafir dan keluar dari Islam, karena dia telah
menghancurkan salah satu sendi Islam, berbeda halnya dengan penyebutan kafir
terhadap orang yang mengerjakan salah satu macam perbuatan kekafiran.
Ketiga:
Di sana ada nash-nash lain yang menunjukkan
bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, yang dengan kekafirannya
menyebabkan ia keluar dari Islam.
Oleh karena itu kekafiran ini
harus difahami sesuai dengan arti yang dikandungnya, sehingga nash-nash itu
akan sinkron dan harmonis, tidak saling bertentangan.
Keempat:
Penggunaan kata kufur berbeda-beda,
tentang meninggalkan shalat beliau bersabda:
((
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya (batas pemisah) antara seseorang dengan
kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim,
dalam kitab al iman).
Di sini
digunakan kata “Al ”, dalam bentuk ma’rifah (definite), yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kekafiran yang sebenarnya,
berbeda dengan penggunaan kata kufur secara nakirah (indefinite), atau “kafara”
sebagai kata kerja, atau bahwa dia telah melakukan suatu kekafiran dalam
perbuatan ini, bukan kekafiran mutlak yang menyebabkan keluar dari Islam.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya yang bernama "Iqtidha ashshirath al mustaqim" cetakan
As Sunnah al Muhammadiyah, hal 70, ketika menjelaskan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
((
ِاثْنَانِ بِالنَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: اَلطَّعْنُ فِي النَّسَبِ،
وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ ))
“Ada dua perkara
terdapat pada manusia, yang keduanya merupakan suatu kekafiran bagi mereka,
yaitu: mencela keturunan dan meratapi orang mati.”
Ia
mengatakan: sabda Nabi “Keduanya merupakan kekafiran” artinya: kedua
sifat ini adalah suatu kekafiran yang masih terdapat pada manusia, jadi kedua
sifat ini adalah suatu kekafiran, karena sebelum itu keduanya termasuk
perbuatan-perbuatan kafir, tetapi masih terdapat pada manusia.
Namun,
tidak berarti bahwa setiap orang yang terdapat pada dirinya salah satu bentuk
kekafiran dengan sendirinya menjadi kafir karenanya secara mutlak, sehingga
terdapat pada dirinya hakekat kekafiran. Begitu pula, tidak setiap orang yang
terdapat dalam dirinya salah satu bentuk keimanan dengan sendirinya menjadi
mu’min.
Penggunaan
kata “Al Kufr” dalam bentuk ma’rifah (dengan kata “Al”) sebagaimana
disebut dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam :
((
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ ))
“Sesungguhnya
(batas pemisah) antara seseorang dengan kemusyrikan dan kekafiran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim, dalam kitab al iman).
Berbeda
dengan kata “Kufr” dalam bentuk nakirah (tanpa kata “Al”) yang
digunakan dalam kalimat positif.
Apabila
sudah jelas bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, keluar dari
Islam, berdasarkan dalil-dalil ini, maka yang benar adalah pendapat yang dianut
oleh Imam Ahmad bin Hanbal, yang juga merupakan salah satu pendapat Imam Asy
Syafi'i, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya tentang firman
Allah subhaanahu wa ta’aala :
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal
shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam:
59-60).
Disebutkan pula oleh
Ibnu Al Qayyim dalam “Kitab Ash Shalat” bahwa pendapat ini merupakan
salah satu dari dua pendapat yang ada dalam madzhab Syafi’i, Ath Thahaqi pun
menukilkan demikian dari Imam Syafii sendiri.
Dan pendapat inilah yang
dianut oleh mayoritas sahabat, bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa
pendapat ini merupakan ijma’ (consensus) para sahabat.
Abdullah bin Syaqiq
mengatakan: ”Para sahabat Nabi radhiallahu
'anhum berpendapat bahwa tidak ada satupun amal yang bila ditinggalkan
menyebabkan kafir, kecuali shalat”. (Diriwayatkan oleh Turmudzi dan Al
Hakim menyatakannya shahih menurut persyaratan Imam Bukhari dan Muslim).
Ishaq bin Rahawaih rahimahullah,
seorang Imam terkenal mengatakan: “Telah dinyatakan dalam hadits shahih dan
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir, dan demikianlah
pendapat yang dianut oleh para ulama sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sampai sekarang ini, bahwa orang yang
sengaja meninggalkan shalat tanpa ada suatu halangan sehingga lewat waktunya
adalah kafir.”
Dituturkan oleh Ibnu
Hazm rahimahullah bahwa pendapat tersebut telah dianut oleh Umar,
Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Abu Hurairah, dan para sahabat lainnya,
dan ia berkata: “Dan sepengetahuan kami tidak ada seorang pun diantara sahabat
Nabi yang menyalahi pendapat mereka ini”, keterangan Ibnu Hazm ini telah dinukil
oleh Al Mundziri dalam kitabnya "At Targhib Wat Tarhib", dan
ada tambahan lagi dari para sahabat yaitu Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas, Jabir bin Abdillah, Abu Darda’ radhiallahu ‘anhu, ia berkata
lebih lanjut: “dan diantara para ulama yang bukan dari sahabat adalah Ahmad bin
Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abdullah bin Al Mubarak, An Nakha'i, Al Hakam bin
Utbaibah, Ayub As Sikhtiyani, Abu Daud At Thayalisi, Abu Bakar bin Abi Syaibah,
Zuhair bin Harb, dan lain-lainnya.”
Jika ada pertanyaan:
Apakah jawaban atas dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat
bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir?
Jawab: Tidak disebutkan
dalam dalil-dalil ini bahwa orang yang meninggalkan shalat itu tidak kafir,
atau mu’min, atau tidak masuk neraka, atau masuk surga, dan yang semisalnya.
Siapapun yang
memperhatikan dalil-dalil itu dengan seksama pasti akan menemukan bahwa
dalil-dalil itu tidak keluar dari lima bagian dan kesemuanya tidak bertentangan
dengan dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir.
Bagian pertama:
Hadits-hadits tersebut dhaif dan tidak jelas, orang yang menyebutkannya
berusaha untuk dapat dijadikan sebagai landasan hukum, namun tetap tidak
membawa hasil.
Bagian
kedua: Pada dasarnya, tidak ada dalil yang menjadi pijakan pendapat yang mereka
anut dalam masalah ini, seperti dalil yang digunakan oleh sebagian orang, yaitu
firman Allah subhaanahu wa ta’aala:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu yang Dia
kehendaki.”
(QS. An Nisa: 48).
Firman
Allah “مَا دُوْنَ ذَلِكَ
” artinya: “dosa-dosa yang lebih kecil dari pada syirik ”, bukan “dosa
yang selain syirik”, berdasarkan dalil bahwa orang yang mendustakan apa yang
diberitakan Allah dan Rasul-Nya adalah kafir, dengan kekafiran yang tidak
diampuni, sedangkan dosa orang yang meninggalkan shalat tidak termasuk syirik.
Andaikata
kita menerima bahwa firman Allah
“مَا دُوْنَ ذَلِكَ
” artinya adalah “dosa-dosa selain syirik”, niscaya inipun termasuk dalam bab Al
Amm Al Makhsus (dalil umum yang bersifat khusus), dengan adanya nash-nash
lain yang menunjukkan adanya kekafiran yang menyebabkan keluar dari Islam
termasuk dosa yang tidak diampuni, sekalipun tidak termasuk syirik.
Bagian
ketiga: Dalil umum yang bersifat khusus, dengan hadits-hadits yang menunjukkan
kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Contohnya:
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang dituturkan oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
((
مَا مِنْ عَبْدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهُ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang
hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, kecuali Allah haramkan ia dari api
neraka.”
Inilah
salah satu lafadznya, dan diriwayatkan pula dengan lafadz seperti ini dari Abu
Hurairah, Ubadah bin Shamit dan Itban bin Malik radhiallahu ‘anhum.
Bagian
keempat: Dalil umum yang muqayyad (dibatasi) oleh suatu ikatan
yang tidak mungkin baginya meninggalknan shalat.
Contohnya:
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang dituturkan oleh Itban bin Malik radhiallahu ‘anhu:
((
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang
hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena
Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka.”
Dan
sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang dituturkan
oleh Mu’adz bin Jabal radhiallahu ‘anhu:
((
مَا مِنْ أَحَدٍ يَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا
رَسُوْلُ اللهِ صِدْقًا مِنْ قَلْبِهِ إِلاَّ حَرَّمَهُ اللهِ عَلَى النَّارِ ))
“Tidak ada seorang
hamba yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah, dan
Muhammad adalah utusan Allah, dengan ikhlas dalam hatinya (semata-mata karena
Allah), kecuali Allah haramkan ia dari api neraka”. (HR.
Bukhari).
Dengan
dibatasinya pernyataan dua kalimat syahadat dengan keikhlasan niat dan kejujuran
hati, menunjukkan bahwa shalat tidak mungkin akan ditinggalkan, karena siapapun
yang jujur dan ikhlas dalam pernyataannya niscaya kejujuran dan keikhlasannya
akan mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat, dan tentu saja, karena shalat
merupakan sendi Islam, serta media komunikasi antara hamba dan Tuhan.
Maka
apabila ia benar-benar mengharapkan perjumpaan dengan Allah, tentu akan berbuat
apapun yang dapat menghantarkannya kepada tujuannya itu, dan menjauhi segala
apa yang menjadi penghalangnya.
Demikian
pula orang yang mengucapkan kalimat “La Ilaha Illallah wa anna Muhammad
Rasulullah” secara jujur dari lubuk hatinya, tentu kejujurannya itu akan
mendorong dirinya untuk melaksanakan shalat dengan ikhlas semata-mata karena
Allah, dan mengikuti tuntunan Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, karena hal itu termasuk syarat-syarat syahadat yang
benar.
Bagian
kelima: Dalil yang disebutkan secara muqayyad (dibatasi) oleh suatu
kondisi yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat.
Contohnya:
Hadits riwayat Ibnu Majah, dari Hudzaifah bin Al Yaman, ia menuturkan bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
((
يُدْرَسُ اْلإِسْلاَمُ كَمَا يُدْرَسُ وَشْيُ الثَّوْبِ " وفيه "
وَتَبْقَى طَوَائِفُ مِنَ النَّاسِ الشَّيْخُ الْكَبِيْرُ وَالْعَجُوْزُ
يَقُوْلُوْنَ: أَدْرَكْنَا آبَاءَنَا عَلَى هَذِهِ الْكَلِمَةِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ فَنَحْنُ نَقُوْلُهَا ))
“Akan hilang Islam
ini sebagaimana akan hilang ornamen yang terdapat pada pakaian”… “dan
tinggallah beberapa kelompok manusia, yaitu kaum lelaki dan wanita yang tua
renta, mereka berkata:”kami mendapatkan orang tua kami hanya menganut kalimat
“La Ilaha Illallah” ini, maka kamipun menyatakannya (seperti mereka) .”
Shilah
berkata kepada Hudzaifah:” Tidak berguna bagi mereka kalimat “La Ilaha Illallah”,
bila mereka tidak tahu apa itu shalat, apa itu puasa, apa itu haji, apa itu
zakat.”, maka Hudzaifah radhiallahu ‘anhu
memalingkan mukanya dengan menjawab:” wahai Shilah, kalimat itu akan
menyelamatkan mereka dari api neraka”, berulang-kali dia katakan seperti itu
kepada Shilah, dan ketiga kalinya dia mengatakan sambil menatapnya.
Orang-orang
yang selamat dari api neraka dengan kalimat syahadat saja, mereka itu
dima'afkan untuk tidak melaksanakan syari'at Islam, karena mereka sudah tidak
mengenalnya, sehingga apa yang mereka kerjakan hanyalah apa yang mereka
dapatkan saja, kondisi mereka adalah serupa dengan kondisi orang yang meninggal
dunia sebelum diperintahkannya syari'at, atau sebelum mereka mendapat
kesempatan untuk mengerjakan syari'at, atau orang yang masuk Islam di negara
kafir tetapi belum sempat mengenal syari'at ia meninggal dunia.
Kesimpulannya,
bahwa dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa tidak
kafir orang yang tidak shalat atau meninggalkannya, tidak dapat melemahkan
dalil-dalil yang dipergunakan oleh mereka yang berpendapat bahwa orang yang
meninggalkan shalat adalah kafir, karena dalil-dalil yang mereka pergunakan itu
dhaif, dan tidak jelas, atau sama sekali tidak membuktikan kebenaran
pendapat mereka, atau dibatasi oleh suatu ikatan yang dengan demikian tidak
mungkin shalat itu ditinggalkan, atau dibatasi oleh suatu kondisi yang menjadi
alasan untuk meninggalkan shalat, atau dalil umum yang bersifat khusus dengan
adanya nash-nash yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat.
Dengan
demikian jelaslah bahwa orang yang meninggalkan shalat adalah kafir,
berdasarkan dalil yang kuat yang tidak dapat disanggah dan disangkal lagi,
untuk itu harus dikenakan kepadanya konsekwensi hukum karena kekafiran dan riddah
(keluar dari Islam), sesuai dengan prinsip “hukum itu dinyatakan ada atau tidak
ada mengikuti ilat (alasan) nya”.
0 komentar:
Posting Komentar